Dari Ruang Rekayasa SMAN 1 Babat: Menemukan Kembali Fondasi Belajar di Era Kecerdasan Buatan

Di era di mana Kecerdasan Buatan (AI) mampu menciptakan gambar, menulis puisi, dan bahkan merancang sirkuit elektronik, sebuah pertanyaan fundamental muncul di benak kita sebagai pendidik: Apa sebenarnya tugas kita di ruang kelas? Apakah kita sedang mempersiapkan siswa untuk bersaing dengan mesin, atau untuk menjadi manusia yang mampu berkolaborasi dengannya secara cerdas?

Pertanyaan ini bukan lagi sekadar teori. Di ruang praktik Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) Rekayasa SMA Negeri 1 Babat, pertanyaan ini menjadi realitas harian kami. Sebagai seorang guru dengan latar belakang teknolog murni dari Teknik Elektronika, saya sangat antusias membawa alat-alat AI terbaru ke dalam proyek siswa. Kami menggunakannya untuk mencari ide, membantu menulis kode program, hingga menganalisis potensi pasar untuk produk rekayasa mereka.

Awalnya, semua tampak menjanjikan. Siswa terlihat mampu menghasilkan karya-karya yang lebih canggih. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menemukan sebuah fenomena yang mengkhawatirkan.

Titik Balik: Ketika Teknologi Canggih Menemukan Dinding Penghalang

Dalam sebuah proyek pembuatan prototipe smart device, saya meminta seorang siswa untuk menjelaskan baris kode yang ia gunakan. Kode itu berfungsi, prototipe itu berjalan. Namun, siswa tersebut terdiam. Ia bisa menyalin dan menempelkan solusi yang diberikan oleh AI, tetapi ia tidak bisa menjelaskan logika di baliknya.

Di proyek lain, siswa ditugaskan untuk merakit komponen berdasarkan lembar data teknis (datasheet) dari pabrikan. Mereka kesulitan luar biasa, bukan karena tidak bisa menyolder, tetapi karena mereka tidak mampu memahami dan menafsirkan instruksi dalam dokumen berbahasa Inggris teknis tersebut.

Saat itulah sebuah kesadaran penting muncul. Masalah terbesar siswa dalam menghadapi teknologi rekayasa yang kompleks bukanlah pada teknologinya. Akar masalahnya jauh lebih dalam dan fundamental: Literasi (kemampuan membaca, memahami, dan menganalisis informasi secara kritis) dan Numerasi (kemampuan berpikir logis, terstruktur, dan algoritmik).

Siswa tidak bisa “berdialog” dengan AI secara cerdas karena mereka belum menguasai “bahasa” dasarnya. AI yang seharusnya menjadi akselerator, justru berisiko menjadi “penopang” yang membuat nalar mereka tidak berkembang.

Mengubah Paradigma: AI Bukan sebagai Jawaban, tetapi sebagai “Stetoskop Digital”

Penemuan ini mengubah pendekatan saya dan kini menjadi visi yang saya bawa sebagai Ketua MGMP PKWU se-Kabupaten Lamongan. Kita harus berhenti melihat AI hanya sebagai alat untuk menghasilkan output akhir (proposal, kode, desain). Sebaliknya, kita harus mulai menggunakannya sebagai alat diagnostik sebuah “stetoskop digital” untuk mendeteksi di mana letak kelemahan fundamental siswa kita.

Bayangkan sebuah platform AI yang tidak memberikan jawaban, tetapi mengajukan pertanyaan yang tepat untuk melatih alur berpikir siswa. Bayangkan sebuah sistem adaptif yang bisa menyajikan manual teknis yang rumit dalam bahasa yang lebih sederhana, lalu perlahan-lahan meningkatkan kompleksitasnya seiring pemahaman siswa bertambah.

Inilah masa depan pembelajaran yang harus kita tuju.

  • Literasi di Era AI: Bukan lagi sekadar bisa membaca, tetapi mampu mengevaluasi informasi, membedakan fakta dari disinformasi yang dihasilkan AI, dan merumuskan pertanyaan (prompt) yang tepat untuk menggali pengetahuan.

  • Numerasi di Era AI: Bukan lagi sekadar menghitung rumus, tetapi mampu memodelkan masalah, memahami logika sebab-akibat, dan menafsirkan data yang menjadi bahan bakar utama semua sistem AI.

Tugas kita di SMAN 1 Babat dan di seluruh Lamongan adalah menggunakan AI untuk memperkuat fondasi ini, bukan untuk melewatinya.

Langkah Selanjutnya: Dari SMAN 1 Babat untuk Lamongan

Kesadaran ini tidak boleh berhenti di ruang kelas saya. Sebagai Ketua MGMP PKWU, saya memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk membagikan perspektif ini kepada rekan-rekan guru di seluruh Kabupaten Lamongan.

Rencana kami jelas:

  1. Menjadikan SMAN 1 Babat sebagai Laboratorium Praktik: Kami akan terus menguji coba metode-metode baru, mengintegrasikan AI secara pedagogis untuk mendiagnosis dan memperkuat literasi-numerasi dalam setiap proyek PKWU.

  2. Mengembangkan Modul Pelatihan Praktis: Kami akan “menerjemahkan” temuan-temuan ini menjadi panduan praktis untuk semua guru PKWU di Lamongan, terlepas dari latar belakang mereka, agar mereka percaya diri menggunakan teknologi bukan sebagai pengganti, melainkan sebagai mitra.

  3. Membangun Komunitas Pendidik Adaptif: Melalui forum MGMP, kami akan menciptakan ruang bagi para guru untuk berbagi keberhasilan dan kegagalan, memastikan bahwa inovasi ini menyebar secara merata dan tidak ada sekolah yang tertinggal.

Pada akhirnya, tujuan kami bukan untuk mencetak siswa yang ahli menggunakan satu aplikasi AI tertentu. Teknologi selalu berubah. Tujuan kami di SMA Negeri 1 Babat adalah membentuk manusia yang literat, logis, dan adaptif. Manusia yang mampu belajar hal baru, berpikir kritis, dan memecahkan masalah kompleks, dengan atau tanpa bantuan AI.

Karena di masa depan, kualitas terbaik yang bisa dimiliki seorang manusia bukanlah kemampuannya meniru mesin, melainkan kebijaksanaannya untuk berkolaborasi dengannya. Dan perjalanan itu, kami yakini, dimulai dari penguatan fondasi paling dasar: literasi dan numerasi.

Privacy Overview

This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognising you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.

Strictly Necessary Cookies

Strictly Necessary Cookie should be enabled at all times so that we can save your preferences for cookie settings.

3rd Party Cookies

This website uses Google Analytics to collect anonymous information such as the number of visitors to the site, and the most popular pages.

Keeping this cookie enabled helps us to improve our website.